"Selamat datang di blog HMI Fistek Sepuluh Nopember Surabaya."
Minggu, 05 Agustus 2012

Analisa Politik Konflik Rohingya

Selayang Pandang

Kasus pembantaian terhadap etnik Rohingya di Myanmar merupakan bentuk penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang sangat memalukan komunitas ASEAN. Etnis Rohingya dan Rakhine kerap saling menuduh soal siapa yang pertama kali melakukan serangan. Bentrokan menyusul insiden pemerkosaan dan pembunuhan seorang wanita pemeluk Budha setempat yang diduga dilakukan salah satu warga Rohingya. Serangan pembalasan pun dilakukan oleh massa Rakhine, 10 orang Muslim tewas pada tanggal awal Juni lalu. Hingga saat ini keadaan darurat masih berlaku di beberapa daerah.

Pada bulan Juni lalu dilaporkan bahwa bentrokan antara kaum Rohingya yang Muslim dan etnik Rakhine mengakibatkan paling tidak 80 orang tewas dan ribuan lainnya mengungsi. Namun, berdasarkan laporan terakhir menyebutkan sebanyak 650 dari satu juta Muslim Rohingya tewas selama bentrokan yang terjadi di wilayah barat Rakhine, dan 1.200 lainnya hilang dan 90.000 lebih telantar. Meskipun aparat keamanan berhasil meredam kerusuhan, puluhan-ribu orang masih berada di kamp-kamp penampungan pemerintah. Program Pangan PBB melaporkan mereka telah menyediakan makanan untuk sekitar 100 ribu orang.

Berbagai bentuk protes dilakukan sebagai wujud simpati dari berbagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, tak terkecuali Indonesia. Pun mahasiswa sebagai elemen pergerakan tidak henti-hentinya menyuarakan simpatinya, dengan identitas organisasi masing-masing. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) secara serentak di penjuru negeri seperti dilansir oleh Harian Republika, Jumat 27 Juli lalu melakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor Pemerintahan. Dalam aksinya tersebut puluhan anggota KAMMI menuntut Pemerintah Myanmar menghentikan penindasan dan diskriminasi terhadap Muslim Rohingya, menuntut Pemerintah Myanmar untuk menghentikan militerisme, serta meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memberikan suaka politik kepada para imigran Rohingya yang ada di Indonesia. Begitu pula yang dilakukan elemen mahasiswa lain di penjuru negeri, tak henti-hentinya melakukan aksi yang mengutuk keras negara yang termasuk dalam anggota ASEAN tersebut.

Keadaan yang terjadi pada etnik Rohingya merupakan salah satu dampak yang dimunculkan oleh masalah ketiadaan status kewarganegaraan. Seperti yang dikatakan Presiden Myanmar Thein Sein kepada Komisaris Tinggi PBB Urusan Pengungsi, Antonio Guiterres, “Myanmar akan mengirim kaum Rohingya pergi "jika ada negara ketiga yang mau menerima mereka. Kami akan mengambil tanggung jawab atas suku-suku etnik kami, tapi tidak mungkin menerima orang-orang Rohingya yang masuk secara ilegal, yang bukan termasuk etnik Myanmar," Munculnya status tanpa kewarganegaraan ini salah satunya disebabkan oleh peperangan, pernikahan sesama orang tanpa status warganegara, perdagangan orang. 

Populasi Muslim Rohingya di Myanmar sekitar 4,0 persen atau hanya sekitar 1,7 juta jiwa dari total penduduk negara itu sekitar 42,7 juta jiwa. Jumlah itu menurun drastis dari catatan pada dokumen Images Asia 'Report On The Situasion For Muslim In Burma pada Mei 1997'yang dalam laporan itu umat Muslim mendekati tujuh juta jiwa Pemerintah Myanmar membatasi gerak dengan tidak memberikan hak atas tanah, pendidikan dan layanan public lainnya seperti yang dikatakan PBB. Hal ini menyebabkan banyak diantara mereka terpaksa mengungsi ke berbagai negara terdekat, seperti di Bangladesh sekitar 400 ribu jiwa, di Thailand 60 ribu jiwa, di Pakistan 40 ribu jiwa dan di Malaysia sekitar 40 ribu jiwa. Sedangkan menurut UNHCR, sebanyak satu juta etnis Rohingya kini tinggal di luar Myanmar dan masih belum ada satu negarapun yang menerima mereka.

Sejarah Singkat Muslim Rohingya

Sebenarnya apabila ditilik dari segi histori, Kaum Rohingya sudah ada sebelum negara Myanmar ada. Sebagai etnis, Muslim Rohingya sudah hidup di sana sejak abad 7 Masehi dengan nama kerajaan Arakan (1430-1784). Sekitar 3.5 abad Rohingya berada dalam kekuasaan Muslim hingga Kerajaan Burma menyerangdan dianeksasi oleh Inggris. Setelah itu Rohingya menjadi bagian dari British India yang saat itu juga belum merdeka. Dan berlanjut hingga tahun 1940-an ada 137 etnis yang terdapat di Burma sejak Burma merdeka (1948), sejak saat itu pula etnis Rohingya tidak diakui sebagai etnis yang ada di Burma.

Etnis Muslim Rohingya selama puluhan tahun mengalami diskriminasi hingga menyebabkan status mereka kini stateless atau tidak memiliki negara. Jauh sebelum konflik Rohingya pada 2012 ini menyita perhatian dunia, sebenarnya etnis Rohingya telah ditindas selama puluhan tahun, baik oleh negara maupun etnis mayoritas di Myanmar, yang kebetulan beragama Buddha. Heru Susetyo, pada wawancara dengan media online Hidayatullah. com, tertanggal 25 Juli 2012 menyatakan bahwa sejak sebelum Burma merdeka, tahun 1942, sudah ada aksi kekerasan kepada orang Rohingya. Ribuan orang Rohingya dibunuh. Baik oleh negara maupun etnis mayoritas, karena mereka dianggap minoritas dan bukan bagian dari Burma.


Kemudian kekerasan terhadap etnis Rohingya berulang terus setelah Burma merdeka, ada operasi-operasi tentara yang sering kali dilakukan sejak tahun 1950-an. Yang paling sadis adalah Na Sa Ka Operation di antaranya dengan metode kekerasan, pengusiran, Burmanisasi, halangan untuk menikah, dan pemerkosaan. Jadi ini adalah state violence,di mana negara melakukan genosida, etnic cleansing (pembantaian etnis), tapi kemudian berkembang menjadi kejahatan sipil antar orang Rohingya dengan orang Arakan lainnya yang non Muslim.

Analisa Berbagai Kalangan tentang Rohingya

Konflik Rohingya menyita perhatian umat di dunia bukan saja di Asia-Pasifik. Penindasan dan kekerasan yang dilakukan oleh Umat Buddha Myanmar kepada Umat Muslim Rohingya membuka mata atas sejarah sebagai salah satu etnis di Myanmar yang tidak diakui. Analisis social-politik bermunculan di berbagai media terkait dengan pemberitaan konflik di Rohingya yang ditengarai sarat dengan unsur politik di dalamnya. Diantaranya adalah Heru Susetyo seorang praktisi hukum yang peduli atas kezhaliman yang diderita umat maupun kelompok Islam di berbagai tempat. Heru Susetyo yang juga Sekretaris Program Pascasarjana Fakultas Hukum UI ini mendirikan Pusat Informasi dan Advokasi Rohingya-Arakan (PIARA) menegaskan bahwa sejauh data-data yang ia miliki, konflik di Rohingya selalu vertikal. Tapi menjadi horizontal karena ada-tokoh yang memprovokasi. Heru menuding media, pemerintah, dan agitasi dari tokoh-tokoh yang tidak bertanggung jawab adalah pihak-pihak yang selama ini memprovokasi sehingga timbul kekerasan seperti yang kemarin.

Pandangan yang lebih jauh diungkapkan oleh Hendrajit, Direktur Global Future Institute Jakarta. Hendrajit menolak bila konflik Rohingya dikatakan sebagai konflik antar agama dan sebagai bentuk “genosida”, dalam hal ini yaitu “muslim cleansing”. Hendarjit lebih cenderung kepada adanya tangan-tangan asing yang bermain pada konflik di Rohingya. Hendarjit berpendapat bahwa konflik di Rohingya sebagai pertarungan soal minyak dan gas bumi.

 “Pada tahun 2005, perusahaan gas Cina menandatangani kontrak gas dengan pemerintah Myanmar untuk mengelola eksplorasi minyak. Kita harus lihat, sebagaimana kasus yang terjadi di Indonesia seperti di Sampang, Mesuji dan lainnya yang menunjukkan bahwa konflik-konflik horizontal menandakan ada sesuatu yang yang diincar dari sisi geopolitik. Yang menarik dari sisi rezim militer di Myanmar dari era Ne Win hingga sekarang ini, ternyata melibatkan perusahaan asing semacam Chevron AS maupun Total Perancis, padahal kedua negara ini kan di permukaan mengangkat isu hak asasi manusia. Jelas ada pertarungan bisnis yang bermain melalui pintu belakang dari rezim militer Myanmar.” Demikian pendapat Hendarjit.

Pada tahun 1988, muncul sistem baru di Myanmar. Walaupun rezim otoriter militer yang memimpin, tapi Myanmar menggunakan sistem pasar. Ketika itu ada undang-undang baru yang namanya The Union of Myanmar Foreign Investment Law. Payung hukum ini adalah perlindungan terhadap sektor eksplorasi dan pengembangan sektor minyak dan gas alam yang melibatkan korporasi-korporasi asing. Cina dan beberapa negara yang diluar AS dan Eropa Barat kelihatannya lebih unggul. Sementara AS ketinggalan. Nah, yang menarik masalah Muslim di Arakan ini cenderung memberi ruang bagi pendekatan symmetric Bill Clinton yang diterapkan oleh Obama dan Hillary Clinton. Dengan dasar, konflik wilayah itu perlu advokasi hak asasi manusia sehingga LSM perlu masuk. Dari pintu ini, mereka masuk dengan memakai konflik Islam dan Budha tersebut. Tapi tampak sasaran strategisnya adalah sama yaitu penguasaan minyak dan gas bumi.

Pendapat senada juga diungkapkan oleh Jusman Dalle (Humas KAMMI Pusat). Seperti dikutip dari situs resmi KAMMI, Jusman Dalle mengungkapkan kecurigaan adanya pihak asing yang bermain di dalam konflik Rohingya. Dan ini akar masalah sebenarnya. Karenanya, Jusman Dalle menegaskan bahwa; tindakan tidak manusiawi terhadap etnis Rohingya tidaklah berlatar belakang etnis dan agama seperti yang digembar-gemborkan selama ini, namun lebih karena adanya kepentingan ekonomi. Bahkan tanpa sadar, rakyat Myanmar justru menjadi korban, diperalat oleh kepentingan hegemoni ekonomi China.

Rohingya, Suu Kyi dan Keterlibatan CIA

Banyak pihak mengendus aroma politik dalam peristiwa pembantaian kaum muslim di Rakhine wilayah barat itu, meskipun konon insiden tersebut jauh sebelumnya dipicu karena pemerkosaan terhadap seorang perempuan pemeluk agama Buddha oleh seorang lelaki muslim. Aroma politis itu setidak-tidaknya tercermin dari kehati-hatian sang pejuang demokrasi Myanmar yang saat ini kesohor, Aung San Suu Kyi, saat dirinya menjawab sejumlah pertanyaan para jurnalis ketika dimintai pendapatnya terkait pembantaian muslim di Rohingya tersebut.

Harian Republika Online tertanggal 27 Juli 2012 menurunkan berita perihal keengganan Aung San Suu Kyi berbicara mengenai pelanggaran yang dilakukan militer Myanmar pada Rohingya. Padahal Muslim Rohingya digambarkan oleh PBB sebagai salah satu kelompok paling teraniaya di dunia. Ironisnya, kasus Rohingya meruak beberapa hari setelah Suu Kyi menerima hadiah perdamaian. Suu Kyi justru mengatakan pada wartawan, ia tak mengetahui apakah Rohingya termasuk orang Myanmar atau tidak.

Komentar dan kritikan pedas menyeruak di berbagai media tentang sikap Suu Kyi tersebut. Sikap diam yang ditunjukkan Aung San Suu Kyi juga mengundang perhatian banyak pengamat untuk menganalisa sikapnya tersebut. Kebanyakan pengamat menunjuk kelambanan Suu Kyi terhadap kasus Rohingya bermotif politik. Sebab Liga Nasional Demokrasi berencana maju pada pemilihan umum di Myanmar 2015 mendatang. Analis mengatakan, Suu Kyi takut bahwa apabila ia mendukung minoritas Muslim Rohingya akan membahayakan bagi kampanyenya.

Bisa jadi, sikap hati-hati Aung San Suu Kyi saat dimintai pendapatnya tentang peristiwa berdarah yang telah menewaskan ribuan ummat Islam di Rohingnya di kawasan barat wilayah Rakhine, Myanmar, itu mungkin memang punya alasan yang cukup kuat dalam posisinya sebagai pemimpin oposisi Myanmar yang tengah berjuang mencari dukungan mayoritas rakyat Myanmar setelah ia dibebaskan dari sel tahanan pada tahun 2010 lalu itu.

Namun, bagaikan dilema, sikap diamnya Aung San Suu Kyi juga berbuah ketidakpercayaan dari konstituennya selama ini, yang nota bene para pejuang demorasi. Kelompok pro demokrasi bisa jadi akan ragu untuk memilihnya, sebab diamnya Aung San Suu Kyi sangat berlawanan dengan komitmen politik yang telah ia perjuangkan selama bertahun-tahun di Myanmar. Jadi Aung San Suu Kyi bak peribahasa menghadapi buah simalakama.

Di balik itu semua, ada kabar yang sangat menarik mengenai sikap acuh tak acuhnya seorang Suu Kyi. Tony Cartalucci, misalnya, dalam situs Endthelie.com pernah menulis artikel mengenai dukungan asing terhadap Aung San Suu Kyi selama ini. Ia menulis adanya aliran dana dari National Endowment for Democration (NED) kepada Aung San Suu Kyi. NED sendiri didirikan pada tahun 1984 dengan dukungan bipartisan selama pemerintahan Ronald Reagan, yang bertujuan untuk “mendorong infrastruktur demokrasi” di seluruh dunia. Presiden pertama NED, Allan Weistein mengemukakan bahwa apa yang dilakukan oleh NED hari ini, secara diam-diam telah dilakukan oleh CIA 25 tahun silam. Demikian yang tertulis pada artikel Michael Barker, seorang kandidat Doktor di Universitas Griffith, Australia.

Jadi, bila benar analisa kedua pakar tersebut, bahwa adanya aliran dana asing kepada Aung San Suu Kyi, yang merupakan perpanjangan tangan CIA, maka terjawab sudah sebab diamnya Aung San Suu Kyi. Aung San tak ingin suara vokalnya akan membuyarkan seluruh rencana yang telah disusun dengan rapihnya, seiring dengan popularitasnya yang mungkin saja menurun sebagai akibat kevokalannya dalam menghadapi konflik etnis Rohingya di Myanmar.

Penutup


Alhasil, terlepas dari hulu dan hilir masalah Rohingya, secara garis besar kita harus melihat kasus Rohingya sebagai kejahatan kemanusian yang dilakukan oleh rezim junta militer Myanmar. Tak peduli anda beragama atau bersuku apa, yang dizalimi beragama, bersuku atau berbangsa apa, kita sebagai bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi “Kemanusian Yang Adil Dan Beradab”, wajib menyatukan suara dan tekad untuk melawan segala bentuk kekerasan di Myanmar terhadap etnis Rohingya.

Dan kita bisa memulainya dari hal-hal kecil, seperti menulis artikel sebagai bentuk simpati terhadap etnis Rohingya, menyumbangkan harta atau pakaian bekas kepada berbagai LSM untuk disalurkan kepada para pengungsi etnis Rohingya, bahkan -dalam skala kecil- mendoakan agar penindasan terhadap etnis Rohingya segera berakhir dan diketemukan jalan keluar yang terbaik, mengingat etnis ini sedari dulu telah ditetapkan sebagai “ilegal citizen” oleh pemerintah Myanmar.

Jadi, tak perlu bagi kita untuk melebarkan konflik ini dengan cara-cara yang tak bijak, seperti menutup Vihara atau mencaci-maki umat Buddha di Indonesia. Walau harapan saya agar Walubi, sebagai perwakilan Buddha di Indonesia mendesak Myanmar agar membereskan serta menghentikan konflik dan penindasan terhadap etnis Rohingya.

0 komentar:

Ingat Waktu


Label

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Hari Ini

Celoteh

Anda Pengunjung ke-

About Me

Foto Saya
HmiFistek-SN
Bismillah.. Himpunan Mahasiswa Islam merupakan tempat berkumpulnya Mahasiswa Islam yang datang dengan berbagai mimpi demi satu tujuan "Membangun Kader Umat dan Bangsa". Yakusa.
Lihat profil lengkapku