"Selamat datang di blog HMI Fistek Sepuluh Nopember Surabaya."
Rabu, 19 Desember 2012

THE HEAP PARADOX

        The heap paradox atau bahasa indonesianya paradoks gundukan adalah sebuah paradoks sederhana untuk mengantar kita kepada konsep benar atau salah. kebanyakan dari kita (termasuk saya tentunya) masih terjebak dalam pemahaman konsep benar atau salah. untuk itu jika anda-anda yang membaca tulisan ini ingin mengetahui tentang keterjebakan kita pada konsep itu , mari saya antar anda menuju wunderkammer.
         
          Terdapat suatu gundukan pasir disebuah lokasi (anggaplah ditaman ) kita ambil satu butir pasir itu dari gundukannya (anggap saja gunudukan pasirnya berjumlah dua milyar butir ) . ketika kita hanya mengambil satu butir pasir dari gundukan "apakah gundukan pasir itu masih ada?". saya yakin kebanyakan anda akan menjawab "tentu masih ada". oke selanjutnya jika kita ambil terus menurus satu butir pasir dari gundukannya tentu gundukannya lama-lama akan menghilang. Sekarang pertanyaannya, jika disebuah lokasi lainnya ada sebuah gundukan lagi lalu kita ambil satu butir pasir saja dari gundukan itu, apakah gundukan itu masih disebut gundukan ????.

       Sekarang lupakan sejenak dulu pertanyaan tadi, kita beralih pada persoalan lain masih sama tentang gundukan tapi kali ini kebalikan dari cerita sebelumnya. Kini seandainya kita memiliki pasir berjumlah satu milyar butir lalu kita memilih satu lokasi yang belum terdapat gundukan. Di lokasi itu kita menaruh satu butir pasir yang kita punya , sekarang sudahkah terlihat gundukan ??? .  ok kini jika kita taruh lagi satu butir pasir disana, apakah sekarang sudah terlihat gundukan???... kembali saya yakin kebenyakan dari kita pasti akan menjawab kedua pertanyaan tersebut dengan belum. Tapi tentu jika kita menaruh terus menerus butir-per butir dari pasir yang kita punya, jawaban belum tadi perlahan-lahan akan berubah jadi iya.
         
             Permasalahan dari paradoks diatas adalah bagaimana bisa kita yakin di saat kita mengatakan di lokasi A ada gundukan sedangkan Lokasi B tidak ada gundukan ??..dimanakah batas itu bisa disebut gundukan atau bukan gundukan ???, bagaimana bisa dia disebut gundukan disaat yang sama dia juga bukan gundukan???, bagaimana juga disaat dia bukan gundukan disaat yang sama juga bukan-bukan gundukan ???... bagaimana ??. Pada akhirnya pertanyaan-pertanyaan tadi berkembang menjadi.. apakah semua didunia ini pasti ??? apakah semuanya memiliki sifat dualisme???... apakah yang tidak benar itu berarti salah ??? apakah yang tidak salah itu benar ??? ... apakah semua memiliki batas yang jelas ???... apakah kelabu itu hitam atau putih ???... itu semua permasalahan dikotomi. dikotomi adalah pembagian dua kelompok yang bertentangan. Pola dikotomi ini sudah mendarah daging didalam pola logika berfikir manusia. Namun ini sebenarnya adalah hal yang wajar karena pada hakikatnya kita pasti ingin menyederhanakan persoalan. Namun nyatanya pola ini akan menjadi permasalahan ketika kita ingin menentukan sesuatu itu benar atau salah. Karena ternyata hampir semua (jika tidak ingin dikatakan semua) di alam semesta ini tidak memenuhi hukum determinasi kualitas. Mengapa demikian ???... pikirkanlah kenapa matematika itu ada??.. kenapa fisika itu ada???.. bahwa nyatanya semua memiliki transisi bukan dikotomi. 

         Mungkin penjelasan diatas terlalu menjelimet. untuk itu mari saya sederhanakan. ketika kita mengatakan seuatu itu keras,lunak,tinggi, rendah,enak,tak enak dan berbagai variable kualitas lainnya. Kita pasti cenderung bilang bahwa itu relatif. Tapi walaupun prinsip relatif berperan , yang utama adalah bahwa kualitas itu semu, hanya sekadar persepsi. Fisika dan matematika sangat menghindari pola seperti ini, pola yang sekadar persepsi atau dikotomi yang bersandar pada kualitas. Fisika dan matematika menyatakannya dengan kuantitas. Misalnya untuk keras dan lunak kita mengukur modulus youngnya, untuk tinggi dan rendah kita mengukur dengan meter. Tapi memang tak semua varible kualitas bisa kita gambarkan dalam varible kuantitas, contoh : enak dan tak enak bagaiman cara mengukurnya ???.

          Lantas apa yang bisa kita ambil dari The heap paradox ?.  Bahwa ternyata kebenaran kita hanyalah sekadar persepsi saja. Kita cenderung menghakimi sesuatu itu benar atau salah hanya berdasar pada persepsi pribadi kita saja, padahal dikotomi itu semu. Sampai dimana pasir-pasir itu bisa disebut gundukan ??? sampai butir pasir berapakah sistem itu tiba-tiba memperoleh sifat sebagai gundukan pasir ??? sampai seperti apakah sesuatu itu bisa disebut benar ?? sampai bagaimanakah sesuatu itu bisa kita sebut kebenaran???... ternyata kebenaran kita hanyalah persepsi??. Jadi sudah seberapa seringkah kita menghakimi diri kita dan yang lainnya dengan persepsi saja ???.  Sebenarnya sah-sah saja jika kita memakai pola dikotomi ini apalagi dalam kehidupan sehari-hari. Namun kita harus menyadari bahwa pola dikotomi ini bukanlah bagian dari sistem kebenaran dan tidak pantas untuk menghakimi suatu kebenaran. Lagipula pola dikotomi ini tidak bersifat universal tapi tergantung pada sudut pandang. Contoh lawannya haus adalah lapar, lawannya kenyang juga lapar. so berarti haus sama dengan kenyang ??? ... :)

0 komentar:

Ingat Waktu


Label

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Hari Ini

Celoteh

Anda Pengunjung ke-

About Me

Foto Saya
HmiFistek-SN
Bismillah.. Himpunan Mahasiswa Islam merupakan tempat berkumpulnya Mahasiswa Islam yang datang dengan berbagai mimpi demi satu tujuan "Membangun Kader Umat dan Bangsa". Yakusa.
Lihat profil lengkapku